Mamak Mertua Mamak Idola

Kalau bicara tentang hari Kartini,  perempuan, dan pahlawan pastilah ingatan kita  menuju ke sosok seorang ibu kandung. Tapi kalau bicara tentang perempuan (tua) yang bawel, suka mengatur, cemburu ke kita, agaknya ingatan kita mengarah ke ibu mertua. Sampai-sampai ada tanaman yang bentuknya panjang, tajam di ujung nya dinamakan lidah mertua. Setajam itukah lidah mertua ? Tidaaakkk !!

Bukan karena mau ikutan even KEB trus saya baik-baikin image mamak mertua  saya loh ^^ Tapi memang karena makmer saya hebat! Tanpa mengurangi rasa hormat dan sayang kepada ibu kandung saya ( love you always Mam !)

Saya pertama kali bertemu beliau pas lamaran. Ya, lamaran. Waktu suami masih pedekate sama sekali belum pernah bertemu. Maklum, mamak mertua tinggal di Kalimantan Timur. Sementara anaknya (calon suami saya waktu itu) tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur. Saya sendiri waktu itu tinggal di Yogyakarta. Sementara orang tua saya tinggal di Batang, Jawa Tengah. ( Jangan ditanya ketemunya kapan dan dimana ya? ) Singkat cerita ketika si Mas melamar saya secara pribadi, sendirian maksudnya, saya memberi jawaban klise, kalau serius ajak orangtuamu ke orang tua saya. Dan, mulailah cerita bersejarah itu. Bertemu Bapak dan Mamak mertua untuk pertama kali nya.

Setelah resmi menjadi anak menantunya, yang pertama saya tanyakan ke Mamak mertua adalah..
"Mak, kok dulu mau langsung diajak ngelamar saya, padahal Mamak belum pernah tahu saya sebelumnya.."
Jawaban Mamak sempat bikin saya melayang dan kejedug langit-langit rumah.
"Mamak pernah dilihatin foto mu dan Mamak  yakin kamu yang terbaik untuk Tanto, makanya Mamak mau diajak ngelamar walau belum pernah ketemu sebelumnya.."
Ah.. Mamak bikin saya ge er  ^^

Ketegaran dan kegigihan Mamak dalam mendidik anak-anaknya sangat saya teladani. Beliau membesarkan anak-anak dalam keterbatasan materi, namun tak terbatas dalam doa dan ilmu agama. Bagi beliau ilmu agama adalah nomor satu. 

Mamak asli Magelang Jawa Tengah. Hijrah ke sebuah lokasi transmigrasi di Kalimantan Timur di tahun 1972. Tepatnya di desa Bukitbiru kabupaten Tenggarong.  Di era presiden Soeharto, transmigrasi menjadi program andalan untuk memeratakan jumlah penduduk, sekaligus mengurangi kepadatan di Pulau Jawa. Jaman dulu aja sudah padat, gimana sekarang ya..

Memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan merantau ke daerah baru, bukan hal yang mudah. Apalagi bagi orang Jawa yang terkenal dengan slogan "mangan ora mangan sing penting kumpul" ( makan nggak makan yang penting kumpul ). Tapi Mamak menguatkan hati dengan tekad demi mencari kehidupan yang lebih baik. Sampai di sana bukannya langsung enak dengan subsidi pemerintah, tapi masih harus 'babat alas'. Ditambah lagi Bapak mertua yang masih harus pindah ke kota lain untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai kecamatan. Mungkin status pegawai lebih dihormati daripada sekedar petani. Jadilah Mamak membesarkan anak-anaknya seorang diri. Kesibukan bertani, tak membuat Mamak lupa mengajar anak-anaknya mengaji dan ilmu agama. Bahkan Mamak juga mengajar anak-anak tetangga mengaji. Gaji Bapak yang pas-pasan tidak pernah membuat Mamak mengeluh. Dengan segala daya, Mamak berupaya. Menjual hasil ladang kepasar. Berjalan sekian kilometer dengan menggendong bakul/keranjang pun dilakoninya. Sekali lagi, semua demi pendidikan anak-anaknya. Alhamdulillah, dibalik setiap kesulitan Allah pasti memberi kemudahan. Anak-anaknya beberapa kali menerima beasiswa. Sehingga meringankan beban Mamak. Selepas SMP, suami saya dan adiknya yang laki-laki berhasil masuk SKMA, yaitu sekolah kejuruan kehutanan setara SMA dengan ikatan dinas. Sehingga tidak memberatkan Mamak lagi. Alhamdulillah lulus SKMA mereka langsung mendapat penempatan bekerja. Sambil bekerja barulah mereka melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi.

Ketika ada rejeki, Mamak dan Bapak mertua mengunjungi kampung halamannya di Magelang Jawa Tengah. Kalau ngga salah tahun 2010. Saya berkesempatan menemani Mamak dalam 'tour de Java' nya. Isak tangis penuh haru mewarnai setiap pertemuan dengan sanak kerabat. Sangat mengharukan bertemu Ibu ( nenek buyut anak saya ) yang sudah sangat sepuh, pakde, paklek dan keluarga yang lain setelah sekian puluh tahun tidak bertemu. Subhanallah...

Mamak juga menjadi sandaran saya ketika rumah tangga saya diterpa riak-riak gelombang. Beliau arif dan bijaksana. Dukungan penuh dari Mamak membuat saya kuat dan yakin mampu melewati semuanya. Setiap menelepon atau ditelepon, Mamak selalu berucap,

"Sing sabar le momong anak..." ( bersabarlah dalam mengasuh anak )

"Sing sabar ngadepi Mas mu..." ( bersabarlah menghadapi Mas mu ) suami maksudnya. Sst.. smoga si Mas yang diomongin nggak baca ^^

Tidak bosan-bosannya Mamak mengingatkan saya untuk bersabar. Bagi saya, kalimat itu seperti suntikan daya untuk mengisi ulang batere kesabaran dan kekuatan saya. 

Mamak Siti Asiyah, perempuan sederhana di Bukitbiru. Mungkin parasmu tak seayu Asiyah istri Firaun, tapi doamu adalah lentera bagi kami, anak-anakmu.. 




Posting Komentar

8 Komentar

  1. sama ini mak...mertua saya juga transmigrasi ke sini.... tangguh2 ibu kita....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah.. iyakah? Di bukitbiru juga ? Biaa kopdar kita kalau mudik sama an.. hehe. Makasi uda ninggalin jejak. Nanti aku mampir juga ke blog mak enci^^

      Hapus
  2. Mantap Mak. Semoga nanti sy juga bisa dapet Ibu mertua idola ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... terima kasih sudah berkunjung mak Vhoy.. ^_^

      Hapus
  3. Balasan
    1. Alhamdulillah mbak.. ^^
      Semua ibu pastinya hebat dg cara nya masing2... ;-)

      Hapus
  4. Bener, semua ibu hebat dengan cara masing masing

    BalasHapus

Haloo, terima kasih sudah membaca ! Jika kalian mempunyai pertanyaan terkait artikel ini, silakan drop pertanyaan di kolom komentar, bukan melalui media sosial. Jangan gunakan profil 'unknown' ya .. ( maaf banget niih, komentar 'unknown' dan meninggalkan link hidup tidak saya tampilkan )