Kisah perjalanan seseorang mencari keluarganya selalu menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Sebut saja film Lion, Finding Nemo, Finding Dory dan So B It. Mungkin masih banyak lainnya, karena saya bukan film addicted, itu hanya beberapa judul yang kebetulan saya tonton.

Walaupun biasanya ending cerita hampir pasti bisa ditebak, tema pencarian keluarga yang hilang selalu berhasil menguras emosi penonton.

Kenapa saya suka dengan film So B It ? Ceritanya mengharukan banget. Kalau di Indonesia kita tahu ada cerita Batu Menangis, tentang seorang anak yang malu mengakui ibu kandungnya karena menurut dia ibunya buruk rupa, Heidi tokoh utama di film So B It ini sangat menyayangi ibunya walaupun sang ibu adalah seorang berkebutuhan khusus yang menderita mentally disabled atau kelainan mental.

Heidi senang sekali bisa mengajak Mamanya keluar rumah. 

Berhubung So B It bukan film baru, nggak apa-apa ya, saya spoiler ? Hehehe, kan judulnya juga sinopsis, bukan review.

Film ini dirilis tahun 2016, yang ternyata diangkat dari novel karya Sarah Weeks dengan judul yang sama. Heidi diperankan oleh aktris muda Thalita Bateman, sedangkan Mama Heidi diperankan oleh Jessica Collins.

Sarah weeks
Cover novel So B It 

Awalnya saya menonton ketika diputar di saluran Fox Family sekitar bulan Juli kemarin. Alur cerita yang maju mundur, membuat saya agak sulit memahami jalan ceritanya. Mungkin juga karena saya belum pernah membaca novelnya, kali ya?

Untungnya, Fox Family memutar ulang film ini pada jam - jam berbeda sehingga saya bisa menontonnya beberapa kali.  Cerita yang awalnya seperti kepingan-kepingan puzzle akhirnya dapat saya pahami secara utuh.

Film ini berkisah tentang Heidi, seorang gadis kecil umur 12 tahun. Heidi tinggal bersama ibunya yang berkebutuhan khusus dan Bernadette (Bernie) tetangga yang menemukan mereka ketika Heidi berusia satu minggu.

Heidi dan Bernie, yang mengidap agoraphobia

Bernie yang baik hati dan juga sebatang kara akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama mereka. Sayangnya Bernie mengidap agoraphobia, yaitu fobia terhadap lingkungan luar rumah. Fobia ini membuat Bernie tidak berani keluar rumah meskipun hanya satu langkah dari pintu.

Tidak diceritakan bagaimana mereka bertiga, -bayi,  orang dewasa gangguan mental dan orang dewasa pengidap agoraphobia- melewati hari demi hari dalam keterbatasan itu. Film hanya menceritakan mulai Heidi berusia 12 tahun. Untuk menopang kebutuhan ekonomi mereka, Heidi didandani bak gadis dewasa dan pergi ke kasino untuk bermain mesin jackpot. Dengan bakat extremely lucky -nya, Heidi bisa menebak angka pada mesin jackpot dan membawa pulang uang koin dari mesin tersebut.

Mama Heidi, hanya bisa mengucapkan 23 kata. So B It salah satunya. So B It adalah kata yang diucapkan Mama Heidi untuk menyebut dirinya. Karenanya Heidi mengira It adalah nama keluarga mereka. Meskipun terdengar aneh, Heidi pun memakainya sebagai nama belakang. Sedangkan Bernie memanggil Mama Heidi dengan sebutan Precious.

Semakin lama, keingintahuan Heidi akan asal usul keluarganya semakin besar. Bernie semakin kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menyangkut asal-usul dia dan mamanya. Bernie hanya bisa menjawab sebatas yang dia tahu. Hingga suatu ketika, mereka menemukan beberapa buah foto masa lalu.

Dalam foto tersebut, nampak nenek dan Mama Heidi berada di sebuah rumah yang bertuliskan " Hill ". Setiap melihat foto tersebut, Precious memgatakan sebuah kata 'Soof' . Heidi -tanpa sepengetahuan Bernie dan mamanya- memutuskan untuk mendatangi rumah Hill yang ada di dalam foto. Lokasi rumah tersebut di kota Liberty, sementara Heidi, tinggal di Reno, Nevada. Entah, berapa kilo jauhnya. Yang pasti jauh banget untuk ukuran anak 12 tahun bepergian sendiri.

Setelah melalui banyak peristiwa, singkat cerita, sampailah Heidi di rumah Thurmann Hill dan mulai terkuak rahasia asal usul dirinya. Mama Heidi, ternyata bernama Sophia. Dulu Sophia dan ibunya (nenek Heidi) tinggal di rumah keluarga Hill, karena keluarga ini mendirikan semacam rumah singgah untuk penderita mentally disabled seperti Sophia.

Putra keluarga Hill, Elliot yang juga mengalami gangguan mental merupakan sahabat baik Sophia. Soof, ternyata adalah panggilan Elliot untuk Sophia. Kedekatan Sophia dan Elliot -yang dimata keluarganya dianggap persahabatan kanak-kanak- ternyata membuahkan kehamilan yang tidak diharapkan pada Sophia. Demi nama baik keluarga, pak Hill meminta Sophia dan ibunya meninggalkan Liberty ( Huuehueu.. Jahatnya pak Hill...😖😖😖 )

Mereka pergi ke Reno, sampai Sophia melahirkan Heidi. Naasnya, ketika Heidi berusia satu minggu, neneknya meninggal dunia ditabrak bus kota. Sophia kebingungan karena Heidi menangis terus. Dan saat itulah, Bernie menemukan mereka.
Heidi dan Om Roy, Sherif yang ingin mengadopsi Heidi

Selama di Liberty, Heidi banyak dibantu oleh Ruby dan Roy Franklin. Ruby adalah perawat yang bekerja di rumah Hill untuk menjaga Elliot. Sedangkan Roy suami Ruby merupakan sherif setempat.

Sedihnya, saat Heidi masih berada di Liberty, Sophia mendapat serangan jantung dan meninggal dunia. Tak terbayangkan sedih hati Heidi mendengar kabar tersebut. Beruntung ada Roy dan Ruby yang memberi dukungan dan kasih sayang selama Heidi berada di Liberty. Ruby dan Roy juga mengutarakan keinginan mereka untuk mengadopsi Heidi. Heidi menghubungi Bernie melalui telepon, tetapi Bernie menyerahkan keputusannya kepada Heidi.

Heidi bersama Pak Hill, kakeknya

Pak Hill, Ruby dan Roy kemudian mengantar Heidi kembali ke Reno. Pak Hill sudah mengakui kekhilafannya dan mengakui Heidi sebagai cucunya. Diakhir cerita, Heidi nampak ceria bermain bersama teman-teman sepulang sekolah. Saya sempat mengira, Heidi menerima tawaran Ruby dan Roy untuk diadopsi. Ternyata, Heidi tetap tinggal di Reno bersama Bernie yang sudah sembuh dari agoraphobia. Mereka sudah bisa  menjalani kehidupan yang normal.  Sementara Ruby dan Roy dikisahkan sudah dikaruniai seorang bayi.

Such a happy ending !

Bahagia yaa..? Senangnya di film ini tidak ada tokoh antagonis selain kang copet yang mengambil tas Heidi ketika baru saja tiba di Liberty.

Meskipun sudah saya spoiler-in, tapi film ini tetap asyik ditonton koq. Banyak scene mengharukan antara Heidi dan Mama yang tidak bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Kisah perjalanan Heidi menuju Liberty, dimana diperjalanan itu Heidi bertemu nenek Alice Wallinsky, juga alur cerita maju mundur yang membuat kita lumayan berfikir untuk memahami jalan cerita yang disuguhkan.

Heidi dan nenek Alice Wallinsky, wanita yang ditemuinya dalam perjalanan ke Liberty

Buat saya pribadi, film So B It mengandung pesan moral yang dalam. Cinta Heidi kepada mamanya meskipun sang mama adalah seorang special needs,  mengingatkan kita untuk saling menyayangi keluarga kita, apapun dan bagaimanapun kondisinya.

So, sudahkah kita memeluk keluarga kita tersayang hari ini ?

Salam,